Selasa, 19 April 2016

Challenge ... ( Trilogy of "Challenge" part 1 )


"Kalau bukan Antum, lalu siapa lagi Akhi ?"
"Ya kan masih ada orang yang lain, yang keimanannya lebih tinggi daripada Ane. Ane mah apa. Shalat masih telat - telatan, tilawah juga jarang, gak pantes Ane."
"Wallahualam bi Shahwaf, Akhi. Hanya Allah yang berhak menilai keimanan seseorang ! So, kenapa sampe bisa ngerasa nggak pantes ?"
"Bener Akhi. Tapi menurut antum, dari segi skill lain Ane, apakah menurut Antum pantas ?"
"Demi kemashlahatan bersama Akhi, sebaiknya...."
"Tapi, aku tetep nggak yakin !!"
"Renungkanlah dulu. Tenangkan fikiran dan hati. Berfikirlah dengan jiwa yang tenang"

Tak kuasa lagi aku melanjutkan perdebatan tak berujung ini dengan sahabatku, Habib. Selain karena kehabisan kata - kata untuk membantah perkataan sahabatku, Adzan Isya pun sudah berkumandang. Namun, perkataan sahabatku ini masih terngiang - ngiang di sela sela wudhu' ku, sehingga membuatku tidak konsentrasi dan harus mengulang wudhu' ku berkali - kali. Sebuah tantangan. Ya, sebuah tantangan yang seakan - akan menghantam otakku bertubi - tubi. Tiba - tiba ingatanku pun terbawa kembali pada peristiwa 1 tahun silam, dimana aku menghadapi sebuah tantangan baru yang serupa dengan yang kuhadapi detik ini...

*

"Aku mau evaluasi. Tolong kalo bikin keputusan itu jangan plin plan. Kemarin kamu bilang pendaftaran peserta ditutup aja. Yaudah aku sempet nolak ada peserta yang daftar tadi malam. Tapi tadi pagi akhirnya kamu buka registrasi lagi"

Di ruang aula pada siang hari, wajah - wajah panitia yang berseri - seri tiba - tiba sirna seketika, ketika ada seorang panitia yang menyampaikan evaluasinya sembari menangis tersedu - sedu lalu berlari meninggalkan ruangan. Lia, sang koordinator publikasi mengatakan sesuatu yang sungguh tidak kuduga sebelumnya. Disaat teman - teman yang lain menyampaikan evaluasinya dengan santai sembari diiringi candaan di sela - selanya, Lia tidak demikian. Aku yang pada saat itu menjabat sebagai ketua panitia seketika itu panik, tidak tahu harus berbuat apa, karena memang akulah yang plin plan. Aku mengubah keputusanku pagi itu tanpa pertimbangan yang matang. Disaat aku merasa panik itulah, kawanku, Askar, dapat segera menetralisir suasana dan menutup forum evaluasi pada siang itu...

"Kar, gimana nih ? Maaf banget kalau jadinya kayak gini. Jujur tadi aku bingung harus gimana. Aku sudah berusaha berfikir, tapi tetap belum ada titik temu yang pas. Keputusan pun harus aku ambil pagi itu juga."
"Sudah dan, It's okay. Ya ini yang dinamakan pembelajaran. Kamu berani mengambil challenge buat jadi pemimpin, ya harus siap dengan kondisi kayak gini. Ingat, kamu HARUS SIAP DIBENCI manakala kamu memutuskan untuk jadi pemimpin. Karena kamu tidak bisa memaksakan semua yang kamu pimpin untuk berfikir selaras denganmu. Sudah, ayo sekarang kamu minta maaf ke Lia"
"Hmmm, tapi Kar..... Bagaimana kalau ..."
"Sudah, gak ada tapi - tapian. Masih 1 minggu lagi lho acara besarnya. Ini belum apa - apa. Ayo, kamu cowok kan ? Harus jantan kalo kamu sudah melakukan kesalahan !"

Akupun tak kuasa menolak nasihat Askar yang langsung menarik tanganku sembari berlari, untuk menemui Lia dan meminta maaf.

"Li, maaf kalo emang keputusanku tadi pagi plin plan. Jujur, akupun masih belajar. Aku sadar aku belum bisa jadi pemimpin yang baik"
"Sudah nggakpapa Syahdan. Aku yang seharusnya minta maaf. Aku yang nggak bisa jaga omonganku tadi di depan forum. Maaf kalau kata - kataku kasar banget tadi..."

Hening, sunyi. Sungguh sebuah jawaban yang membuatku bingung, bagaimana untuk bersikap, detik itu juga....

**

"Daan. Plisss, jangan jadi kahima. Aku nggak akan setuju"
"Lhoo, tapi kenapa ? Kasih tau dong alasannya."
"Udahhh, percaya akuu.. Pliss pliss, jangan jadi kahimaaa !!!"

Ini kesekian kalinya kawanku, Lia, membuatku geleng - geleng kepala dan mengelus dada. Heran, mungkin juga bercampur jengkel. Aku bertemu lagi dengan kawanku ini di bangku perkuliahan. Memang benar adanya, saat itu aku punya keinginan untuk menjadi seorang kahima, karena aku ingin belajar bagaimana caranya memimpin sebuah organisasi. Sejauh ini, aku hanya pernah sebatas memimpin suatu acara saja yang bersifat insidentil. Lalu apa bedanya memimpin kepanitiaan dan memimpin sebuah organisasi selain dari segi waktu ? Ketika aku menanyakan alasannya pun, Lia tak urung menjawab dan selalu mengalihkan perhatian. Lama kelamaan timbul sebersit prasangka buruk dalam hatiku, apakah Lia masih dendam terhadapku tentang peristiwa 1 tahun silam ? Sebegitu tidak pantasnya kah aku untuk mempelajari suatu hal baru ?

Malam itu, sungguh sebuah pertemuan yang tak kuduga - duga. Aku bertemu dengan Askar di masjid kampusku. Sudah lama sekali kami tak bertemu semenjak awal perkuliahan semester I. Kami pun berbincang - bincang seru, hingga akhirnya pembicaraan kami mengarah pada kebimbanganku akan sikap Lia,

"Menurutmu kenapa Kar, hingga Lia seperti itu ? Kurasa dia tidak bercanda. Aku tau bedanya mana orang bercanda mana enggak. Setiap kutanya, dia selalu mengalihkan topik. Bingung aku. Apa skill kepemimpinanku sebegitu rendahnya kah ? Sebegitu kurangnya ilmu ku kah ?? "

Seperti biasa, kawanku Askar tidak pernah berubah ciri khasnya sejak berorganisasi di SMA dulu. Termenung sejenak, kemudian manggut - manggut sambil mengelus - elus dagunya yang tak berjenggot atau sesekali membenahi kacamatanya yang sering melorot, lalu memberikan sebuah petunjuk yang sangat bijaksana menurutku,

"Sejujurnya Dan, aku pun pernah nanya tentang kamu ke salah seorang temenku di jurusanmu juga. Mereka bilang kamu punya pemikiran bagus, aktif berpendapat, tapi seringkali omonganmu terlalu mbulet, susah dipahami, dan kamu kurang bisa bersikap santai Dan. Sehingga, mereka pun dalam hati seringkali beranggapan begini ; Ini orang ngomong apa sih , gajelas banget.. Jadi aku nangkepnya, kamu kurang bisa mengemas pemikiranmu sesuai dengan bahasa yang difahami mereka. Istilahnya, mereka baru berfikir Besok aku makan apa , sedangkan yang kamu fikirkan adalah 2 tahun lagi aku bisa makan apa aja. Coba kamu rasain aja, ketika kamu berpendapat di depan temen - temenmu, rasanya kayak krik - krik gitu kan ?"

Ah, sudah tak mampu lagi aku menerka jalan fikiran temanku ini. Kawanku ini selalu saja tahu apa yang kufikirkan dan kurasakan. Tak urung juga aku mengangguk perlahan sambil tertunduk. Askar pun menepuk bahuku dan melanjutkan perkataannya,

"Kamu nggak perlu risau. Jujur aku bangga punya temen kayak kamu, yang visioner, berfikir jauh kedepan, dan berani menjadi yang berbeda diantara yang lain. Hal - hal kayak gitu patut kamu syukuri, karena nggak semua orang bisa kayak kamu. Bener kan ? Cuma kalo dari aku, cobalah kamu belajar untuk lebih sedikit santai dan membaur dengan semua orang. Ingat, kalo dulu walisongo nggak berhasil membaur sama penduduk di Jawa, kita semua mungkin belum kenal Islam. Get it ?"

Sungguh nasihat yang menggugah hati dari temanku ini. Jika aku tidak ingat bahwa aku berada di masjid yang ramai, mungkin aku sudah memeluk kawanku yang bijak ini. Namun kuurungkan niat itu. Selain karena malu juga, waktu sudah menunjukkan pukul 19.00. Ada jadwal kumpul bersama kawan - kawan seangkatan di Theater Y.

"Jazakumullah khairan atas nasihatnya. Aku duluan Kar. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam"

~Based on true story ( Dengan pengubahan )

..... To be Continued .....