Suatu ketika, ada seorang mahasiswa kaya raya bernama
Doni dan Adiknya bertamasya di desa. Setelah puluhan kilometer ditempuhnya dari
rumah dengan mobil BMW putih kesayangannya, akhirnya mereka berdua pun tiba di
rumah Kakek mereka. Kakek menyambut mereka berdua dengan penuh kerinduan dan
suka cita. Ketika Doni dan adiknya masuk ke ruang tamu, senyum lebar menghiasi
wajah mereka berdua. Teringat kembali kenangan – kenangan masa lalu di rumah
itu. Rumah yang menjadi saksi kerja keras Kakek dan Nenek ketika Ayah mereka masih
muda dulu untuk menyekolahkan Ayah. Rumah yang menjadi saksi bisu perjuangan
keras Nenek menghadapi penyakit yang dideritanya puluhan tahun silam, penyakit
kanker otak yang menyebabkan Nenek harus berpulang ke Rahmatullah mendahului
Kakek. Rumah yang senantiasa menjaga dan melindungi Kakek hingga saat ini
berusia senja.
Tak
lama setelah melepas lelah, Doni pun mengajak Adiknya jalan – jalan ke pematang
sawah sembari menikmati keindahan desa tersebut. Gunung yang menjulang,
pepohonan yang menyegarkan mata, serta pemandangan yang membuat setiap insan
yang melihatnya tak henti-hentinya mengucap tasbih, seakan menyambut kedatangan
mereka. Mereka berdua melintasi beberapa rumah warga desa yang reyot sembari
melambaikan tangan sekaligus mengucapkan salam kepada para penduduk desa yang
mereka kenal ketika bertemu.
“Kak,
coba lihat itu !”
Tiba
– tiba suara adiknya membuyarkan lamunannya. Tetapi akhirnya Doni pun menoleh
juga sembari tersenyum.
“Ada
apa Dik ? Bagaimana menurutmu desa ini ?”
“Syukurlah
Kak, liburan ke desa ini memberiku sedikit pencerahan.”
“Sungguh
? Coba ceritakan pada Kakak”
“Aku
semakin tau bahwa manusia bisa sangat miskin Kak”
Doni
pun tercegang mendengar apa yang diucapkan adiknya. Mengapa yang dirinya
pikirkan bisa sama dengan adiknya. Ya, sedari tadi Doni memang berpikir bahwa
dirinya dan keluarganya jauh lebih beruntung dibandingkan orang-orang di desa
ini. Doni berpikir bahwa dirinya telah memiliki segala yang diinginkannya.
Rumah mewah, perhiasan, uang, kendaraan mewah, telah ia miliki semuanya.
Bahkan, dirinya sekarang tengah berkuliah di Universitas Indonesia, Fakultas
Kedokteran kelas internasional !! Namun, Ia tetap ingin mendengar apa yang
sedari tadi adiknya pikirkan.
“Oh
ya ? Coba ceritakan pada Kakak”
“Banyak
sekali yang orang desa ini punya Kak. Mereka memiliki sawah yang luas untuk
memenuhi sendiri kebutuhan makan mereka sehari-hari, sedangkan kita tidak.
Mereka memiliki lingkungan hidup yang teramat bersih dan segar untuk ditinggali,
sedangkan kita tidak. Ketika kita sebagai orang kota berlomba – lomba untuk
mengumpulkan kekayaan, mereka senantiasa bersyukur karena mereka merasa cukup
dengan apa yang mereka miliki. Ketika kita sebagai orang kota membutuhkan
satpam ataupun bodyguard untuk menjaga rumah kita, mereka merasa saling
memiliki satu sama lain sehingga berupaya untuk saling menjaga dan melindungi.
Ketika kita punya acara keluarga dan tidak ada yang mau membantu kesibukan
kita, mereka semua memiliki tetangga – tetangga yang ramah dan mau membantu
dengan ikhlas.”
Mendengar
penjelasan sang adik, hati Doni pun menjadi tersentuh. Betapa tidak ? Adiknya
yang masih berusia 10 tahun sudah mampu berpikir hingga sejauh itu dibandingkan
dirinya yang sudah berusia 17 tahun. Pemikirannya jauh lebih dewasa daripada
dirinya. Perlahan Doni pun meneteskan air mata, menyesali kekhilafannya selama
ini. Ya Rabb, masih maukah Engkau mengampuni hambamu yang seringkali tidak tahu
bersyukur ini ? Selama ini, diriku hanya memperjuangkan kepentingan dunia
hingga terkadang melupakanmu Ya Rabb. Betapa selama ini seringkali kusia –
siakan nikmat yang telah Engkau berikan. Betapa selama ini hambamu ini sering
menganggap remeh orang – orang di sekitar hamba. Maafkanlah diriku ini, Ya
Rabb, tangis Doni dalam hati.
“Kau
benar Dik, Kakak pun menyadarinya. Kita memang teramat miskin dibandingkan
dengan mereka para penduduk desa” ujar Doni sembari membelai kepala adiknya.
Hari itu, Allah memberikan Doni sebuah pelajaran berharga melalui sang adik.
Saudaraku, mungkin betapa sering diri kita bersikap tinggi hati. Betapa sering diri kita menganggap bahwa diri kita jauh lebih baik daripada orang lain. Namun, bisa jadi sebetulnya justru diri kita yang tidak ada apa - apanya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar