Jumat, 31 Juli 2015

Betapa Kita Sangat Miskin ??

             


          Suatu ketika, ada seorang mahasiswa kaya raya bernama Doni dan Adiknya bertamasya di desa. Setelah puluhan kilometer ditempuhnya dari rumah dengan mobil BMW putih kesayangannya, akhirnya mereka berdua pun tiba di rumah Kakek mereka. Kakek menyambut mereka berdua dengan penuh kerinduan dan suka cita. Ketika Doni dan adiknya masuk ke ruang tamu, senyum lebar menghiasi wajah mereka berdua. Teringat kembali kenangan – kenangan masa lalu di rumah itu. Rumah yang menjadi saksi kerja keras Kakek dan Nenek ketika Ayah mereka masih muda dulu untuk menyekolahkan Ayah. Rumah yang menjadi saksi bisu perjuangan keras Nenek menghadapi penyakit yang dideritanya puluhan tahun silam, penyakit kanker otak yang menyebabkan Nenek harus berpulang ke Rahmatullah mendahului Kakek. Rumah yang senantiasa menjaga dan melindungi Kakek hingga saat ini berusia senja.
            Tak lama setelah melepas lelah, Doni pun mengajak Adiknya jalan – jalan ke pematang sawah sembari menikmati keindahan desa tersebut. Gunung yang menjulang, pepohonan yang menyegarkan mata, serta pemandangan yang membuat setiap insan yang melihatnya tak henti-hentinya mengucap tasbih, seakan menyambut kedatangan mereka. Mereka berdua melintasi beberapa rumah warga desa yang reyot sembari melambaikan tangan sekaligus mengucapkan salam kepada para penduduk desa yang mereka kenal ketika bertemu.
            “Kak, coba lihat itu !”
            Tiba – tiba suara adiknya membuyarkan lamunannya. Tetapi akhirnya Doni pun menoleh juga sembari tersenyum.
            “Ada apa Dik ? Bagaimana menurutmu desa ini ?”
            “Syukurlah Kak, liburan ke desa ini memberiku sedikit pencerahan.”
            “Sungguh ? Coba ceritakan pada Kakak”
            “Aku semakin tau bahwa manusia bisa sangat miskin Kak”
            Doni pun tercegang mendengar apa yang diucapkan adiknya. Mengapa yang dirinya pikirkan bisa sama dengan adiknya. Ya, sedari tadi Doni memang berpikir bahwa dirinya dan keluarganya jauh lebih beruntung dibandingkan orang-orang di desa ini. Doni berpikir bahwa dirinya telah memiliki segala yang diinginkannya. Rumah mewah, perhiasan, uang, kendaraan mewah, telah ia miliki semuanya. Bahkan, dirinya sekarang tengah berkuliah di Universitas Indonesia, Fakultas Kedokteran kelas internasional !! Namun, Ia tetap ingin mendengar apa yang sedari tadi adiknya pikirkan.

            “Oh ya ? Coba ceritakan pada Kakak”
            “Banyak sekali yang orang desa ini punya Kak. Mereka memiliki sawah yang luas untuk memenuhi sendiri kebutuhan makan mereka sehari-hari, sedangkan kita tidak. Mereka memiliki lingkungan hidup yang teramat bersih dan segar untuk ditinggali, sedangkan kita tidak. Ketika kita sebagai orang kota berlomba – lomba untuk mengumpulkan kekayaan, mereka senantiasa bersyukur karena mereka merasa cukup dengan apa yang mereka miliki. Ketika kita sebagai orang kota membutuhkan satpam ataupun bodyguard untuk menjaga rumah kita, mereka merasa saling memiliki satu sama lain sehingga berupaya untuk saling menjaga dan melindungi. Ketika kita punya acara keluarga dan tidak ada yang mau membantu kesibukan kita, mereka semua memiliki tetangga – tetangga yang ramah dan mau membantu dengan ikhlas.”
            Mendengar penjelasan sang adik, hati Doni pun menjadi tersentuh. Betapa tidak ? Adiknya yang masih berusia 10 tahun sudah mampu berpikir hingga sejauh itu dibandingkan dirinya yang sudah berusia 17 tahun. Pemikirannya jauh lebih dewasa daripada dirinya. Perlahan Doni pun meneteskan air mata, menyesali kekhilafannya selama ini. Ya Rabb, masih maukah Engkau mengampuni hambamu yang seringkali tidak tahu bersyukur ini ? Selama ini, diriku hanya memperjuangkan kepentingan dunia hingga terkadang melupakanmu Ya Rabb. Betapa selama ini seringkali kusia – siakan nikmat yang telah Engkau berikan. Betapa selama ini hambamu ini sering menganggap remeh orang – orang di sekitar hamba. Maafkanlah diriku ini, Ya Rabb, tangis Doni dalam hati.

            “Kau benar Dik, Kakak pun menyadarinya. Kita memang teramat miskin dibandingkan dengan mereka para penduduk desa” ujar Doni sembari membelai kepala adiknya. Hari itu, Allah memberikan Doni sebuah pelajaran berharga melalui sang adik.

Saudaraku, mungkin betapa sering diri kita bersikap tinggi hati. Betapa sering diri kita menganggap bahwa diri kita jauh lebih baik daripada orang lain. Namun, bisa jadi sebetulnya justru diri kita yang tidak ada apa - apanya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar